RANDOM NOTE : LANDY MEMBAWAKU KEMANA?
Landy Membawaku Kemana?
Bagian 2
Mentari Pagi di Bukit Seribu Bintang
Kawan-kawan yang masih tidur
satu persatu ku bangunkan. Lalu ku perintahkan untuk bersiap karena kita akan
bergerak. Satu persatu mulai bergegas. Hanya mencuci muka, tidak mandi karena air
tak cukup.
.
Sepuluh menit berlalu.
Setelah semua perut terisi oleh makanan siap saji kedaruratan, semua berkumpul
di halaman parkir mobil.
“Sudah siap semuanya?” tanya
Kang Mejik.
“Siap!” jawab kami serempak.
.
Kami berpamitan pada penjaga
obyek wisata Bukit Seribu Bintang. Tak lupa pada Pak Haji yang telah
mengantarkanku sampai di tempat ini. Katanya dia baru akan turun agak siangan.
Masih ingin menikmarti suasana disini sambil memantau titik api.
“Terimakasih Pak, sudah
membawa saya kesini. Saya turun dulu.”
“Sama-sama, Bal. Hati-hati
dijalan.”
.
Kami naik ke mobil. Mencari
tempat duduk ternyaman untuk sampai turun ke titik lokasi. Maklum saja, tempat
duduk di mobil kang Mejik bagian belakang berposisi hadap-hadapan. Tidak ada seat-belt, yang ada justru
peralatan-peralatan kedaruratan seperti ragaji mesin, selang, waterbag dan peralatan yang terbuat dari
besi lainnya.
.
Mobil perlahan berjalan.
Kembali menyapa terjalnya jalanan berbatu, berpasir dan berdebu. Aku mulai
terbiasa dengan kondisi semacam ini.
.
Sambil melaju, kami memantau
ke kanan dan ke kiri. Melihat apakah masih ada titik api atau tidak. Tiba-tiba,
mobil kang Mejik berhenti. Kang Mejik bergegas pergi keluar. Aku pun turut
serta.
.
“Wah itu, titik api ada
lagi. Arah angin mengarah ke atas. Satu jam dua jam lagi kemungkinan bisa
sampai ke BSB.” ucap kang Mejik.
Aku diam, pandanganku
mengarah ke titik api disana.
Lalu segerombolan orang tiba
dari bawah. Ternyata mereka adalah relawan kebakaran dari sekitaran wilayah
sini.
.
“Gimana Pak, kondisi dibawah
sana?” tanya kang Mejik.
“Wah titik api masih ada.
Kemungkinan besar naik ke BSB jika arah angin menuju Barat.” kata Bapak itu.
.
Kang Mejik langsung
mengeluarkan Handytalky (HT) dari
sakunya dan mencoba menghubungi ke pos pemantauan di bawah.
“Monitor... monitor” ucap
Kang Mejik.
Aku kurang memerhatikan
percakapan kang Mejik melalui HT itu. Aku fokus melihat ke atas langit biru.
Ternyata segerombolan kelelewar tengah bermigrasi dari tempat asalnya. Mungkin
penyebabnya karena api telah membakar sarang mereka. Arah terbang mereka persis
dari arah titik api menuju timur.
Kawanan Kelelewar tengah bermigrasi
.
“Monitor… monitor BSB!”
“Iya kang, masuk!” suara
dari HT, sayup-sayup ku dengar itu seperti suara penjaga obyek wisata BSB.
“Saya sekarang ada di dekat
titik api. Tidak terlalu jauh dari BSB. Mohon untuk tetap waspada karena
dikhawatirkan api merambat naik ke atas, begitu. Ganti!”
“Baik Kang siap, disini stand by termonitor, begitu. Ganti.”
“Baik, Tetap berkomunikasi.
11.23.” tutup kang Mejik.
.
Api meski kecil perlahan
mulai membasar. Ditambah kondisi cuaca yang panas serta angin kencang menambah
pergerakan api itu untuk melahap setiap yang di lewatinya.
.
Setelah berkoordinasi dengan
relawan warga. Kami memutuskan untuk turun sedikit kebawah. Mencari sumber air
yang bisa di tampung di bak penampungan.
.
Mobil berhenti di dekat batu
besar. Warga sekitar menyebutnya Batu Kuda. Karena batu ini berbentuk Batu
Kuda, tapi bukan Kuda Nil. Kang Mejik dan Rizal turun mencari sumber air.
Sementara aku, Bodrek dan Imam mengeluarkan selang dan bak penampungan.
.
“Drek, bawa selang turun!”
teriak kang Mejik dari bawah.
“Siap!” Bodrek langsung
membawa ujung selang ke arah suara kang Mejik.
Aku mengintip dari atas. Ku
lihat Kang Mejik tengah melubangi pipa paralon untuk kemudian di sambungkan ke
selang. Pipa paralon itu berasal dari bawah yang disalurkan menuju BSB kata
Rizal. Aku tak terbayang, berapa panjangnya pipa itu.
.
Sementara itu aku dan Imam
sudah mendirikan bak penampung air. Namun karena tidak memungkinkan di alirkan
ke atas. Bak penampung itu ku bawa turun ke posisi yang lebih rendah dari
sumber air.
.
Air perlahan memenuhi bak
penampungan. Rizal datang membawa waterbag.
Tas yang bisa menampung air yang kemudian bisa di semprotkan untuk memadamkan
api. Setelah bak penampungan air agak penuh, kini giliran waterbag yang kami isi.
.
Sayup-sayup terdengar suara
dari bawah. Ah, mungkin relawan juga. Dari Batu Kuda kami bisa melihat api di
balik pohon pinus. Waterbag sudah
terisi penuh oleh air. Siap menghalau api agar tak lewat jalur.
.
Sementara kang Mejik
mengondisikan di Batu Kuda, aku Rizal, Bodrek dan Imam berjalan menuju bawah ke
arah suara yang terdengar dari Batu Kuda. Ternyata benar, suara itu berasal
dari relawan warga yang tengah menunggu kedatangan api dari sebrang jalan.
.
Aku mendekat, mencoba
bergabung dengan mereka. Sebagai sesama relawan, aku berkoordinasi dengan warga
lokal. Biasanya mereka paham betul dengan wilayahnya. Selain itu, mereka juga tahu
cara mencegah api lewat.
.
Lalu segerombolan motor
berdatangan. mendekati kami. Ternyata bapak-bapak Polisi bersama satu orang
anggota TNI dan perwakilan dari pihak Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).
Dari tampilannya, mereka sepertinya siap membantu memadamkan api.
.
Mungkin, lengkap sudah
kondisi tim ini. Ada Polisi, TNI, perwakilan dari desa, warga lokal dan kami
mahasiswa relawan. Ketika semuanya bekerjasama, pasti akan lebih mudah
menghadapi musibah ini. Aku malah tambah bersemangat.
.
Api kian mendekat di dukung
tiupan angin kencang yang menghadapi kami. Para relawan, Polisi, TNI dan TNGC
berkoordinasi. Aku mengikuti arahan dari mereka.
.
Kami mulai membuat sebuah
sekat bakar dari tanaman yang ada. Sekat bakar ini berfungsi untuk menahan laju
api agar tidak merambat menyebrang jalur yang memisahkan dua wilayah. Sebagian
mulai mempersiapkan peralatan tempurnya untuk mengahalau api.
.
Api mulai merambat mendekat
ke arah kami. Aku dan relawan lain langsung menemuinya, menyemprotkan air dari waterbag atau memukul api dengan kain
basah atau batang pohon berdaun. Cuaca panas membuat api semakin ganas.
.
Tak terbendung, api kian
membesar. Kami perlahan mundur menuju ke tempat aman, mengumpulkan kembali
tenaga dengan sedikit menghirup udara yang segar. Api mulai mendekati jalur.
.
Kami bersiap menghalau api
kembali. Namun, kami tak kuasa. Angin yang kencang membuat api semakin cepat
merambat. Segala usaha di kerahkan, namun tetap saja. Hingga akhirnya api
melewati jalur. Sekat bakar pun habis di lalap si jago merah.
Rizal yang tengah melihat api yang hendak melewati jalur
.
Kami mulai mencari posisi
aman, khawatir api mengepung kami disini. Kendaraan yang dibawa oleh Polisi,
TNI dan TNGC mulai bergerak untuk diamankan. Terlihat Kang Mejik pun mendekat
ke arah kami bersama Landrovernya.
.
“Drek, coba cek penampungan.
Aman enggak?” ucap Kang Mejik yang lupa mengecek bak penampungan.
Tanpa basa-basi Bodrek pun
langsung pergi menuju bak penampungan.
.
Sekeliling mata memandang,
yang terlihat hanyalah sisa-sisa kebakaran. Asap dan abu dari pohon-pohon yang
terbakar. Semuanya berwarna hitam.
.
Air dalam Waterbag ku sudah habis. Kami benar-benar
tak berdaya melawan kemarahan alam. Kami hanya bisa pasrah melihat api yang
membakar hutan. Kini yang penting bagi kami adalah menyelamatkan diri.
Pemandanan Hutan dari Batu Kuda yang habis terbakar
***
Setengah jam berlalu, api
yang berada disekitaran kami perlahan mulai padam dengan sendirinya.
Penyebabnya adalah tidak adanya bahan bakar. Aku jadi ingat satu hal dalam
pelajaran Gunung Hutan tentang Api. Ada tiga hal yang menyebabkan api bisa
menyala, satu bahan bakar, dua pemantik dan tiga udara. Ketika salah satu dari
ketiga hal tersebut tidak ada, maka api pun tidak akan menyala.
.
Waktu sudah menunjukan jam
makan siang. Tidak ada nasi apalagi pizza. Makan siang kali ini ditemani
makanan kedaruratan dalam kemasan kaleng. Lumayan untuk mengisi perut di siang
ini. Sambil makan siang ala kadarnya kami berbincang satu sama lain.
“Drek, gimana bak
penampungan? Aman?” tanyaku.
“Boro-boro aman. Habis
sudah.” jawab Bodrek.
“Waduh.. padahal udah susah
payah.” ucap Rizal.
“Namanya juga kuasa alam.
Tidak ada yang bisa melawan.” kata Imam.
Bodrek yang tengah melihat bak penampungan yang habis terbakar
.
Usai menyeruput kopi
terakhir. Aku, Kang Mejik, Rizal, Bodrek dan Imam kembali melanjutkan
perjalanan. Kata kang Mejik masih ada titik api yang harus di padamkan.
Lokasinya mendekati Kebun Raya Kuningan. Kami pun beranjak pergi. Sementara
yang lain, ada yang masih bertahan dan pulang.
.
Api benar-benar melahap
habis hutan ini. Sepanjang perjalanan menuju Kebun Raya Kuningan yang ku lihat
hanyalah sisa-sisa kebakaran.
.
Saat kami tiba, sudah ada
Polisi dan beberapa relawan yang tengah memadamkan api. Aku pun langsung
bergegas mengisi air di dekat bangunan di Kebun Raya Kuningan. Setelah terisi
penuh, dengan sisa tenaga aku pun menuju titik api dan mulai menyiram api-api yang
tengah kehausan.
.
Didukung kondisi air yang
mencukupi. Api pun berhasil kami redam. Barulah kami istirahat sejenak untuk
meluruskan punggung yang seharian menggendong waterbag.
.
Waktu istirahat kami hanya
sekitar 20 menit. Itupun kami gunakan untuk memperbaiki waterbag yang mulai berkurang fungsinya, setelahnya kami isi
kembali tas itu dengan air.
.
Baru saja akan meluruskan
punggung, kang Mejik sudah meminta kami untuk bersiap. Katanya masih ada titik
api yang harus segera di padamkan. Tenang saja ada tambahan personil yang siap
membantu kalian ucap kang Mejik yang kemudian memarkirkan mobilnya.
*bersambung*
Kemana lagi kaki ini
melangkah? Ke titik mana lagi waterbag ini
ku gendong?
Nantikan cerita selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar