RANDOM NOTE : LANDY MEMBAWAKU KEMANA? [BAGIAN AKHIR]
Landy Membawaku Kemana
Bagian 3
Dua pohon pines yang habis terbakar namun tetap berdiri kuat.
"Badai Puan telah berlalu, salahkah ku menuntut mesra. Tiap pagi menjelang, kau di sampingku. Kau aman ada bersamaku.
.
Nyanyi ku dalam hati seraya mobil yang baru saja melaju. Sementara punggung belum ku luruskan secara paripurna. Melihat pohon pines itu aku malah ingat sesuatu.
Lalu dalam perjalanan, Rizal bertanya
“Kemana lagi kita, Kang?”
“Kemana lagi kita, Kang?”
“Di bawah masih ada titik
api yang bergerak menuju Kebun Raya Kuningan, api dari arah timur.” jawab Kang
Mejik.
.
Mobil menepi. Terlihat
beberapa kawan relawan lain dan juga tambahan personil dari BPBD tengah bersiap
menuju titik lokasi. Kami langsung bergabung dengan mereka. Peralatan tempur
sudah kami pakai dengan kondisi perut yang tengah bermain keroncong.
.
“Gimana kondisi aman?” tanya Kang Giri, salah satu kawan dari BPBD.
“Aman, kang. Tapi perut yang
kurang aman. Belum ketemu nasi, ketemunya kaleng-kaleng terus.”
jawabku sambil
terkekeh.
“Tenang. Nanti Bandung Padat akan segera merapat.
Tahan. Selesaikan dulu tugas ini.” ucap Kang Giri memberi harapan.
.
Kami segera meluncur ke
lokasi. Kali ini masuk ke kebun. Api sudah membakar setengahnya. Tidak terlalu
besar. Kami segera memadamkannya. Lagi-lagi karena kondisi angin dan cuaca yang
panas memudahkan api kembali menyala.
.
Kami menyusur ke arah kiri.
Aku sudah sampai tiga kali mengisi waterbag.
Namun api tak kunjung padam. Butuh beberapa kali siram dan pukulan daun-daun
basah untuk memadamkan api.
.
Aku teramat lelah. Perut tak
bisa lagi ku tahan. Aku lapar.
.
Saat akan mengisi waterbag untuk ketiga kalinya. Seseorang
dari kejauhan memanggil.
“Iqbal!”
Aku melambaikan tangan.
“Cepat sini. Makan!”
pekiknya.
Seketika itu pula aku
langsung lari dengan sisa-sisa tenaga yang ada lalu menghampiri Imam yang tadi
berteriak-teriak memanggilku.
“Ini untukmu.” ucap Imam
sambil memberikan Bandung Padat istilah
lain dari nasi bungkus.
“Terimakasih.” balasku.
.
Dalam kondisi seperti ini,
makan pun tak bisa dinikmati seperti biasanya. Makan harus cepat, karena api
tidak bisa menunggu untuk di padamkan selagi kami makan.
.
Matahari mulai tenggelam.
Hari menuju gelap perlahan mendekat. Api masih saja berkobar. Semakin membesar
dan terus membesar. Semakin gelap semakin jelas betapa besarnya api terlihat.
.
Usai makan kami kembali ke
lokasi. Terus bergerak kesebelah kiri. Yang dikhawatirkan adalah api yang bisa
sapa menyebrang ke Batu Luhur. Saat terus bergerak kesebelah kiri, ternyata
beberapa relawan dari warga sekitar telah tiba lebih dulu. Kami yang mulai lelah,
dapat sedikit bernapas panjang.
.
Aku melihat beberapa warga
tengah berkoordinasi untuk memadamkan api ini. Terlihat pula Kang Giri berada
di antara mereka. Selesai berdiskusi, Kang Giri datang menghampiri kami.
.
“Sebaiknya kita ikuti arahan
mereka. Sudah tidak mungkin api bisa kita padamkan. Terlebih kondisi air yang
sulit di dapat. Lebih baik kita mencegahnya agar tak sampai merambat menuju
Batu Luhur.” kata kang Giri menjelaskan.
“Nanti kita berpencar saja.
Beberapa ada yang disini, beberapa lagi ada yang disana, bergerak terus ke
sebelah kiri, mengikuti warga.” kang Giri menambahkan.
“Siap?”
“Siap!” ucap kami serempak.
.
Kami bergerak sesuai arahan.
Terus berusaha menahan api agar tak melewati kami, sebagai ambang batas agar
tak sampai ke Batu Luhur. Seluruh tenaga kami keluarkan.
***
Tak terasa jarum pendek
sudah menunjuk ke angka 9 lewat 45 menit. Tapi api masih saja menyala walau tak
sebesar seperti di awal. Kang Giri datag menghampiriku.
“Sebentar lagi akan datang
bantuan dari Polhut. Api mati atau tidak, kita harus turun. Kondisi tim kita
sudah tidak mungkin lagi untuk terus bergerak.”
“Siap, kang. Kebetulan, saya
juga sudah lelah.” ucapku.
Sambil menunggu mobil
jemputan. Kami terus waspada menghadapi api yang ada dihadapan kami.
***
“Bal, mobil udah di lokasi
penjemputan. Ayo kita kesana.” ajak Bodrek.
Aku melihat jam yang sudah
menunjuk ke angka 10. Tanpa basa-basi aku pun langsung bergerak menuju tempat
yang Bodrek maksud.
.
Satu mobil milik TNGC sudah
terparkir. Kami langsung mengatur posisi tempat duduk secara tertib. Setelah
semua naik, mobil pun melaju melewati jalan berbatu, lagi.
.
Dua puluh menit berlalu,
kami tiba di lokasi peristirahatan, Batu Luhur. Tempat dimana saat Landy yang membawaku
ke BSB beristirahat untuk mendinginkan mesin. Terlihat banyak orang disana,
termasuk Kang Haji beserta kawannya yang siang tadi terjebak di BSB. Aku
langsung menghampiri.
“Gimana Pak Haji kondisinya,
aman?” tanyaku.
“Aman, bal. Alhamdulillah”
ucapnya.
“Turun jam berapa darisana?”
“Sekitar selepas ashar.”
Pak Haji menceritakan
kejadiannya kepadaku. Katanya, api melahap sebagian area BSB, kecuali warung yang
biasa di tempati Bapak penjaga BSB.
.
“Tahu tidak? Tempat yang
semalam kamu tiduri, yang ada kasurnya itu. Semuanya ludes, habis terbakar api.”
ucap Pak Haji.
“Hah?” aku terkejut.
“Iya bal, jadi kamu itu
beruntung sekali, semalam bisa tidur disana untuk terakhir kalinya, hehe..”
ucap Pak Haji sambil terkekeh.
Aku masih tak menyangka.
Lalu Pak Haji memberikan rekaman videonya yang memperlihatkan bagaimana tempat
penginapan yang ku tiduri habis di lalap si jago merah.
.
Setelah berbincang dengan
Pak Haji lalu aku menghampiri Kang Giri. Aku memberitahu bahwa aku akan pulang
malam ini. Kebetulan ada mobil Kang Deni yang kosong.
.
Pukul 12.00 aku dan Imam
pulang menumpangi mobil Kang Deni. Aku tidak melihat Bodrek dan Rizal saat akan
pamit. Kemungkinan mereka masih tetap disini.
.
Saat akan pulang, sebetulnya
api masih menyala. Namun tubuh ini sudah benar-benar lelah. Dan aku, hanya ijin
satu hari kepada orang tuaku untuk menjadi relawan disini. Mungkin bisa saja
aku memberi kabar via telepon. Tapi aku tidak ingin Ibuku khawatir.
.
Mobil perlahan melaju.
Meninggalkan keramaian di belakang, serta nyala api di samping kanan. Semoga
lekas padam, harapku.
.
Komentar
Posting Komentar